Pendidikan dan Agama

Metode pendidikan yang diterapkan menentukan hasil dari sistem pendidikan, pun demikian dengan agama. 

Ketika agama mencapai puncak kejayaannya dengan metode pendidikan yang ‘hanya’ mengandalkan hafalan, lebih menonjolkan teks ketimbang konteks, menekankan ritual tanpa pemahaman, maka manusia yang mengaku pengikut dan penganut setia agama justru menjadi buas dan suka melakukan tindakan yang (hakikinya) sangat berlawanan dengan ajaran agamanya. Kebuasannya justru malah dipoles dengan simbol-simbol keagamaan untuk mengesahkannya. 

Memang, beragama melalui pendidikan yang berorientasi substansi dan pemahaman spiritual mendalam memerlukan pemikiran lebih dari sekedar menghafal. 

ini penting, makanya diulang.

Memang, beragama melalui pendidikan yang berorientasi substansi dan pemahaman spiritual mendalam memerlukan pemikiran lebih dari sekedar menghafal. 

Bukankah itu yang lebih layak disebut proses pandai sebenarnya?

Harapan dari hal ini jelas agar kita terhindar dari menjadikan agama sekedar label dan kemasan agar dapat tampil WAH.

Jadi, konklusi dari pembahasan yang tampak sedikit intelek ini adalah : Pelajari ! Tapi jangan sekedar hafal. Hafalkan! Tapi pahami esensi. 

(Tampak intelek nggak ya? 😆😆😆😆)

Nabi Yusuf (Yūsuf):36 – Dan bersama dengan dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. Berkatalah salah seorang diantara keduanya: “Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur”. Dan yang lainnya berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung”. Berikanlah kepada kami ta’birnya; sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai.

Tinggalkan komentar